Nama lengkapnya adalah Abu 'Ali Al-Husain ibn 'Abdallah. Dia lahir di Bukhara (Asia Tengah)
pada 980 M. Dialah salah seorang filosof terbesar di sepanjang sejarah pemikiran Islam. Bukan
hanya di bidang filsafat Islam Peripatetik (Aristotelian), melainkan-sebagaimana terungkap dalam karya-karyanya yang lebih belakangan-juga di bidang yang terkait dengan filsafat-mistis maupun tasawuf itu sendiri. Di antara karyasufistiknya adalah Al-Manthiq Al-Masyriqiyyin (Logika Orang-Orang Timur)-yang hanya pendahuluannya yang bisa di temukan-dan 3 bab terakhir dalam "Al-Isyarat wa Al-Tan bihat, serta beberapa risalah lain, khususnya Risa/ahfl Al-1syq" (Ulasan tentang Cinta).
Kebesarannya di bidang filsafat-rasional telah melahirkan suatu gerakan di Barat pra-Renaisans
yang disebut sebagai Avi cennisme-di wilayah ini ia memang dipanggil Avicenna. Pikir annya banyak berpengaruh bahkan atas para filosof Barat periode Renaisans dan modern. Bukan itu saja, buku-ensiklopedis nya tentang ilmu kedokteran, berjudul Al-Qanun fl Al-Thibb,
dijadikan referensi di universitas-universitas Barat hingga abad ke-18, bahkan ada yang menyatakan hingga abad ke-19.
Ibn Sina menulis suatu risalah ringkas tentang shalat ber judul Risa/ahfl Al-Sha/,ah. Di salah
satu bagian tulisannya dalam risalah ini, Ibn Sina mengungkapkan tujuan-penulisannya, se bagai berikut: ''Aku mulai menulis risalah ringkas untuk men jelaskan hakikat dan bagian-bagian shalat ini lantaran aku melihat banyaknya orang mengabaikan sisi-sisi formal-lahiriah shalat dan Quga) tidak merenungi sisi-sisi esoteris-batinnya .... Semua
ini agar seorang berakal yang pandai dan terhormat mudah ber jalan di garis penghambaan secara terus-menerus dan menye nangi munajat kepada Tuhannya ...."
Shalat menurut Ibn Sina
.... Ketahuilah bahwa shalat terbagi menjadi dua bagian: lahiriah (zhahir), yakni bagian latihan (simulasi) yang hanya terkait dengan sisi eksternal; dan bagian batin, yakni bagian hakiki yang terkait dengan sisi batin manusia.
Bagian lahiriah shalat merupakan aspek yang diperintah kan oleh syariat dan dapat diamati
gerak-geriknya. Pembuat syariat (Allah) mengharuskan dan menyuruh manusia untuk melakukannya, dan Dia menamainya dengan shalat. Inilah landasan manusia untuk menuju keimanan. Rasulullah Saw. bersabda, "Tiada keimanan bagi yang tidak melaksanakan shalat dan tiada keimanan bagi yang tidak memegang amanat. "
Jumlah-jumlah dan waktu-waktunya telah ditentukan. Lalu Allah
menjadikannya sebagai ibadah (ketaatan) yang termulia dan meletakkannya pada derajat ibadah yang
tertinggi.
Sisi lahiriah yang terkait dengan disiplin tertentu (gerak gerik, waktu-waktu khusus, dan
syarat-syarat jasmaniah khusus
-HB) ini berhubungan dengan badan (jism), lantaran ia terdiri atas bentuk dan susunan, seperti bacaan-bacaan, ruku', sujud, dan lain sebagainya. Dan, (mengingat) badan pasti be rupa rangkaian berbagai unsur, seperti tanah, udara, api, dan lain sebagainya, dari sejumlah partikel atau yang serupa dengan nya dalam badan manusia, maka susunan dan rangkaian yang terdiri atas bacaan-bacaan, ruku', dan sujud dalam jumlah tertentu dan teratur ini pastilah terkait dengannya. (Namun), badan adalah bungkus jiwa. (Maka shalat tentulah) merupa kan perwujudan dari shalat hakiki yang secara bawaan ter kandung dalam jiwa manusia. Jiwa manusia bertindak sebagai pengendali badan, demi menyelaraskannya dengan keselaras an alam semesta. Jumlah-jumlah tertentu shalat lahiriah ini merupakan simulasi/penyerupaan (terhadap alam semesta), yang disyariatkan oleh Allah kepada man usia berakal dan dewasa (baligh). Yakni, untuk menyerupakan (perilaku) raga dengan ruh, dalam kepatuhan kepada Sang Pencipta yang Mahatinggi. Melalui perbuatan (shalat) ini, manusia mem bedakan dirinya dari segenap binatang, lantaran binatang tidak pernah diajak berbicara dan tidak diberi balasan pahala ataupun siksa. Sebaliknya, manusia telah diajak berbicara dan diberi balasan pahala ataupun siksa sesuai dengan ketaatannya menjalankan
perintah ataupun (menghindar dari) larangan syariat dan akal. Syariat mengikuti (hukum-hukum) akal dalam semua hal.
Karena Sang Pembuat syariat (Allah) mengetahui bahwa akal mengharuskan jiwa manusia untuk
melakukan shalat hakiki yang bersifat batin, yakni mengenal dan memakrifati-Nya, Dia menyuruh
manusia untuk meniru shalat-akalnya dengan gerakan badaniahnya (sebagai simbol dari shalatnya jiwa itu). Lalu, Dia menyusun serangkaian gerak dalam bentuk dan pola terbaik supaya raga manusia meniru ruhnya dalam menghamba dan menyembah-Nya, meskipun raga tidaklah mungkin menyamai ruh dalam tingkatannya. Karena Pembuat syariat mengetahui bahwa manusia tidak dapat menyadari dorongan-dorongan bawaan akal (untuk melakukan shalat hakiki), Dia menetap kan sistem dan latihan jasmani yang bersifat mengendalikan dan menentang hasrat-hasrat biologisnya. Maka Dia mene tapkan (suatu ibadah) dalam sejumlah tertentu shalat
ini agar manusia dapat berlaku seiring dengan akal, dan tidak terjebak untuk meniru dan menyerupai ternak atau binatang-binatang lainnya. Oleh karena itu, Rasul yang Suci bersabda, "Shalatlah seperti shalatku, "suatu anjuran untuk menyerupai dan meniru beliau. Di dalam anjuran ini, terkandung manfaat dan maslahat yang sangat besar-semua orang berakal memahaminya meski pun orang bodoh tetap mengabaikannya.
Hadiriliah dalam shalat berjamaah
Imam ]a'far A L-S hadiq berkata bahwa sebagaimana biasa RasuLuLLah Saw. masuk ke masjid
untuk meLaksanakan sha Lat subuh dengan berjamaah. SeteLah seLesai shaLat, beLiau Saw.
menoLeh ke beLakang dan meLihat bahwa tiga orang di antara MusLimin tidak hadir daLam shalat waktu itu .
BeLiau Saw. menyebutkan ketiga nama orang tersebut dan bertanya, "Apakah ketiga orang tersebut
biasa hadir dalam shalat betjan1aah?" Mereka menjawab, "Tidak." RasuLuLLah Saw. bersabda,
"Ketahuilah bahwa bagi orang-orang munafik, tidak ada shalat yang lebih berat daripada shalat
isya dan subuh. Sekira nya rnereka rnengetahui besarnya pahala shalat isya dan subuh yang
dilakukan dengan berjarnaah, rnereka akan datang untuk rnelaksanakan keduanya sekalipun hams
datang dengan rne rangkak."